BUDAYA POLITIK
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama
oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda
pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para
elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba
mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga
negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap
peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana
distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat
bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan
diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi
yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta
mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas
pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos.
Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar
masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan
rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai
dan norma lain.
b. Budaya politik
dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti
sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)
menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri
budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau
mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian
budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang
memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan
orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang
sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah
individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek
individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena
dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi
individual.
2. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya
politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita
ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan
konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan
rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu
politik tentang budaya politik.
a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku
individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para
anggota suatu sistem politik.
b. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan
suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan
yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat
pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara
bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu
dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau
menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang
budaya politik sebagai berikut :
Pertama
: bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan
aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada
berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai
dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa
budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan
penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua
: hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik
maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang
diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang
terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang
akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat
fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi
dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik
terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga
: budaya politik merupakan deskripsi konseptual
yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam
jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah,
bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya
politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki
peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
3. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem
politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan
psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik)
dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan
psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri
masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney,
terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi
kognitif (cognitive orientations) dan orientasi
afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih
komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang
klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen
obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif
: yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik,
peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi
afektif : yaitu perasaan
terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu
keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal
melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap
orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya
politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a.
Budaya
Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan
tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik,
tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan
disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah
yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik
Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah
atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama.
Sikap netral atau kritis terhadap ide orang,
tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat
bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan
bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu
mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi
atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap
mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap
selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi.
Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan
perhatian pada apa yang selaras
dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik
yang bernada absolut bisa tumbuh dari
tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha
memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan
segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang
absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Akomodatif
Struktur mental yang bersifat
akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan
masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu
yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai
salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
2. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa
variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter
dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik
yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya
politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond
mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a.
Budaya
politik parokial (parochial
political culture), yaitu tingkat partisipasi
politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat
pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun
ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c.
Budaya
politik partisipan (participant
political culture), yaitu budaya politik yang ditandai
dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya
budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas.
Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah
sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a.
Frekuensi orientasi terhadap
sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output,
dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b.
Tidak terdapat peran-peran politik
yang khusus dalam masyarakat.
c.
Orientasi parokial menyatakan
alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan
oleh sistem politik.
d.
Kaum parokial tidak mengharapkan
apapun dari sistem politik.
e.
Parokialisme murni berlangsung
dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik
berada pada jenjang sangat minim.
f.
Parokialisme dalam sistem politik
yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a.
Terdapat frekuensi orientasi
politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek
output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input
secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b.
Para subyek menyadari akan
otoritas pemerintah
c.
Hubungannya terhadap sistem plitik
secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan
hubungan yang pasif.
d.
Sering wujud di dalam masyarakat
di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e.
Orientasi subyek lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a.
Frekuensi orientasi politik sistem
sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi
sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b.
Bentuk kultur dimana
anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap
sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik
serta administratif (aspek input dan output sistem politik)
c.
Anggota masyarakat partisipatif
terhadap obyek politik
d.
Masyarakat berperan sebagai
aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti
bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem
politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki
kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa
mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan
dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok
protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya
demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara
dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu
menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau
keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang
ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk
terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam
politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam
masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar
warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan
kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya
politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman
yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik,
tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti
berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya
dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa
tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik
subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh
terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan
pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan
politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi
politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya
sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya
masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu
negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak
terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki
perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya
sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah
politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki
minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi
politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan
institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba
membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat
institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa
dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di
Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik
murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di
antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba
tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a.
Budaya politik subyek-parokial (the
parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture)
c.
Budaya politik parokial-partisipan
(the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat
dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
|
||
Demokratik Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem
ini cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya
kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.
|
Di sini jumlah industrial dan
modernis sebagian kecil, meskipun
terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif
menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian
besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
|
Dalam sistem
ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula
keter-libatannya dalam peme-rintahan
|
Pola kepemimpinan
sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong
aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin
besar peranannya dalam pembangunan di segala
bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi
tidak diharapkan, apalagi kritik.
Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada
pula elite yang menyadari inisiatif rakyat
yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembangkan
pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari
rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik
dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama
yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha
percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan
yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu
sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang
terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite
politik.
SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA
POLITIK
1. Pengertian
Umum
Sosialisasi
Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang
berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik
demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan
proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan
sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan di mana seseorang/individu
berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang.
Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi
di antara kepribadian individu dengan
pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan,
nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk
satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap
terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak
menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja
menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi.
Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran
tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu
disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya,
maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem
politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi
2. Pengertian
Menurut Para ahli
Berbagai pengertian
atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan oleh para
ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang budaya
politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli politik
terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor
yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik
menurut para ahli.
- David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi
sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu
keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan
sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau
yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan
manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
- Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana
sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk,
dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan
patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
- Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana
individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku,
dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu
jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar
dari kelompoknya.
- Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu
pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang
tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara
baru dan mereka yang menginjak dewasa.
- S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan
dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara
bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed
disebut dengan transmisi kebudayaan.
- Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana
seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
- Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap
dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut,
dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan
Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu
proses yang berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua
: sosialisasi politik dapat berwujud
transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi
informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas.
Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok
kerja, media massa, atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak
definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa
segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.
- Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
- memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
- sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
- bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak
pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah
yang berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama
: seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses
pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan
antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis,
sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk
menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu
memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial;
menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak
membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang
diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel
penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan
dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih
lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental
bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan
dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang
tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi.
Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan,
orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara tingkah laku
sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat memasukkan
sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara
berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa
terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar
sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara
tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah
seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun pada
perkembangan” kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari
sosialisasi. Maka Michael Oakeshott
menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari
keminkamtaan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap
tingkah laku orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun
di dunia ini yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi
terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat
kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun
kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik dan
disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa
makna setiap pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan
tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.
Kiranya kita dapat
memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana individu-individu
dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem
politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan
sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja
menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju
pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan
pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan
sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin
saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis
terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
3. Proses
Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja.
Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh
tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik
mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa
mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu
mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh
simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera
nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun
timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara,
demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.
Peranan keluarga
dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan
Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai
ayahnya dan presiden selama
bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan
Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses
sosialisasi politik dari anak, yaitu
sebagai berikut.
- Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
- Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
- Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
- Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai
pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi orang tua di Rusia.
Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
- Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
- Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
- Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
- Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.
- Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
- Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar
tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang
dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain
:
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang
paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga
inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan”
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education
(pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan
berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai
politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh
pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai
politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat
memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik
tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik
maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan
“image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari
masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada
masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan.
Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan
dua suku bangsa di Kenya Barat Daya:
kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis.
Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku
Neuer pada dasarnya bersifat
egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii
bersifat otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati
tradisi mereka masing-masing.
4. Sosialisasi Politik
dalam Masyarakat Berkembang
Masalah sentral
sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh
contoh negara Turki, di mana satu
usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung
sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal
(Kemal Ataturk) berusaha untuk
memodernisasi Turki, tidak hanya
secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert
Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
- Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.
- Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
- Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
5. Sosialisasi Politik dan
Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan
lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin
stabil pemerintahan, semakin
terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam
satu pemerintahan non totaliter, akan
semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin
totaliter sifat perubahan politik,
semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional (cross-national) mengenai kebudayaan politik.
Penelitian mereka menyimpulkan bahwa masing-masing kelima
negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan politik tersendiri.
Amerika dan Inggris dicirikan oleh penerimaan secara umum terhadap sistem
politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang
cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para
responden bahwa mereka dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa
hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan
mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh
satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya
merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran
antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi,
sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh
masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak
aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima
lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga
tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
6. Sosialisasi Politik dan
Komunikasi Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar
yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional
learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai
(sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang
menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik
dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah
jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula
sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik
tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi
menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung berusaha mengekalkan kultur
dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara
pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota muda
masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata “terutama”
sengaja digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti halnya belajar
dalam pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri,
terlepas dari bagaimanapun batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola
sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur
dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan
tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang
beraneka ragam.
Pada sisi lain,
sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang
dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah
seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan
perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka perannya serta peran yang
berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai
yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim
terhadap sistem, dan output otorotatif-nya.
dalam proses
sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan
dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi
itu sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok
sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela,
media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat
berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan,
relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses
tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat
nyata (manifes) dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
|
Sosialisasi Politik Laten
|
Berlangsung dalam
bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input
dan output sistem politik.
|
Dalam bentuk
transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan
output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga yang mempengaruhi
sikap terhadap peran, input dan output sistem politik yang analog (adanya
persamaan).
|
Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti
Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh aneka unsur
masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota maupun di
desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media masa (radio, surat
kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh
struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi yang
menjangkau wilayah tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini
memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara
kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari
kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti Amerika,
Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para elite
politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus melalui
badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan pada
kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok
masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang relatif
homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau orientasi kultural
sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap para elite politik dan
sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan
konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.
PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
1. Pengertian
Partisipasi Politik
Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari
partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan
bagian dari budaya politik, karena keberadaan struktur-struktur politik di
dalam masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu indikator
adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik (partisipan).
Bagi
sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses politik, bukan
sekedar pada tataran formulasi bagi keputusan-keputusan yang dikeluarkan
pemerintah atau berupa kebijakan politik, tetapi terlibat juga dalam
implementasinya yaitu ikut mengawasi dan mengevaluasi implementasi
kebijakan tersebut.
Partisipasi Politik adalah
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya
gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai
berikut :
a. Modernisasi dalam segala bidang
kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam
kekuasaan politik.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial.
Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik
menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan
kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke
bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi
yang cukup matang.
d. Konflik antar kelompok pemimpin
politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan
rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik
kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas
dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas
pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi
akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
2. Konsep
Partisipasi Politik
Dalam ilmu
politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa
dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah
partisipasi politik menjadi begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi
pendekatan behavioral (perilaku) dan Post Behavioral (pasca
tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik terutama banyak dilakukan di
negara-negara berkembang, yang pada umumnya kondisi partisipasi politiknya
masih dalam tahap pertumbuhan.
Dalam ilmu politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan
konsep partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat ? apa implikasinya ? bagaimana
bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ? apakah ada tingkatan-tingkatan
dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan ini merupakan hal-hal mendasar
yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan tentang konsep partisipasi politik.
Hal pertama
yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik.
Beberapa sarjana yang secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan
beberapa konsep partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :
Sarjana
|
Konsep
|
Indikator
|
Kevin R.
Hardwick
|
Partisipasi
politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan
pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka
terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan
tersebut.
|
·
Terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah
·
Terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.
|
Miriam
Budiardjo
|
Partisipasi
politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara,
dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy).
|
·
Berupa kegiatan individu atau kelompok
·
Bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik
atau mempenga-ruhi kebijakan publik.
|
Ramlan
Surbakti
|
Partisipasi
politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala
keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Partisipasi
politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai
kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik.
|
·
Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
publik
·
Dilakukan oleh warga negara biasa
|
Michael
Rush dan Philip Althoft
|
Partisipasi
politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di
dalam sistem politik.
|
·
Berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik
·
Memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi
|
Huntington
dan Nelson
|
Partisipasi
politik ... kegiatan warga negara preman (private citizen) yang
bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
|
·
Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan
·
Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik
·
Dilakukan oleh warga negara preman (biasa)
|
Herbert
McClosky
|
Partisipasi
politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana
mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung
atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
|
·
Berupa kegiatan-kegiatan sukarela
·
Dilakukan oleh warga negara
·
Warga negara terlibat dalam proses-proses politik
|
Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik
yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial
menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan
dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan
pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara
preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi
tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa.
Post a Comment